Universitas Gadjah Mada Cloud Experience Research Group
Department of Electrical Engineering & Information Technology
Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • 2021
  • page. 3
Arsip:

2021

Pengembangan Perangkat Lunak di Era Pandemi

Articles Thursday, 27 May 2021

Pengembangan perangkat lunak saat ini

Pengembangan perangkat lunak saat ini membutuhkan kerjasama dan kolaborasi. Seiring dengan pertumbuhan kompleksitas perangkar lunak dan juga beban fungsi perangkat lunak modern. Perangkat lunak saat ini dikembangkan secara berkelompok tidak individual. Pekerjaan pengembangan perangkat lunak bergeser yang tadinya bersifat personal menjadi kolektif. Berbagai praktik pengembangan juga menekankan pentingnya komunikasi dan kolaborasi secara langsung. Pendekatan modern berbass proses Agile misalnya mendorong komunikasi langsung memiliki derajat yang lebih penting dibanding dengan dokumentasi sekalipun. Itulah mengapa praktik Agile sepeti Scrum dan XP melibatkan pengguna secara langsung dan mengerjakannya secara tatap muka dan intens.

Sayangnya kondisi ideal demikian tidaklah mudah di era pandemi. Kondisi yang tidak memungkinkan mobilitas, interaksi yang terbatas, hingga keterbatasan konektiivitas nenbuat pengembangan perangkat lunak di era pandemi memasuki babak baru.

 

Pengembangan perangkat lunak secara terdistribusi

Berita baiknya, para peneliti telah merancang berbagai proses pengembangan perangkat lunak secara terdistribusi. Konsep pengembangan perangkat lunak secara terdistribusi pada masa lalu memang tidak dirancang karena pandemi. Pengembangan perangkat lunak secara terdistribusi dilakukan dikarenakan adanya kebutuhan melakukan pengembangan yang memanfaatkan 24 jam waktu kerja untuk mempercepat deliverable sebuah perangkat lunak. Sebut saja perusahaan Ubuntu, Microsoft, dan Novel yang melakukan konsep “round the clock follow the sun”. Pendekatan ini disinyalir efektif untuk memberikan kekuatan super untuk pengembangan tanpa henti dengan memanfaatkan perbedaan zona waktu, kedekatan pasar lokal, hingga biaya tenaga kerja yang lebih kompetitif di negara-negara berkembang. Dua metode yang umum digunakan adalah

  • Global Software Developnent – pendekatan formal untuk pengembangan perangkat lunak secara terdistribusi.
  • Global eXtrene Programming – pendekatan Agile untuk pengembangan perangkat lunak secara terdistribusi

Keduanya dirancang secara terdistribusi karena faktor efektivitas dan efisiensi, lalu bagaimana penerapannya di era pandemi.

 

Pengembangan perangkat lunak di era pandemi

Apakah pendekatan GXP atau GSD dapat diterapkan di era pandemi. Jawabannya tentu bisa. Namun, apakah efektif? apakah akan sesuai dengan kebutuhan berdasar kondisi pandemi. Hal tersebut yang menarik dibahas. Pada saat pandemi latar belakang yang mendorong adalah ketidak mungkinan untuk berinteraksi langsung karena COVID-19 maka kita bisa melihat kondisi yang berbeda seperti pada ciri sebagai berikut.

  • Pengembangan perangkat lunak terdistribusi dilakukan pada anggota tim yang secara geografis tidak terlalu jauh dan dalam zona waktu yang sama. Hal ini mengakibatkan proses pengembangan dalam rentang jam kerja yang sama
  • Pengembangan perangkat lunak terdistribusi akibat pandemi dilakukan dengan anggota tim berada di rumah. Berbeda dengan pengembangan yang sebelumnya yang berada di lingkungan kantor yang kondusif. Maka kondisi perangkat lunak terdistribusi berbasis work from home sangat rentan terhadap situasi yang tidak kondusif seperti lingkungan kerja yang tak memadai, bising, dan gangguan lainnya
  • Pengembangan perangkat lunak terdistribusi akibat pandemi dilakukan dengan anggota tim yang memiliki kecenderungan lebih sporadis. Hal ini dikarenakan para anggota tim tidak dilatih untuk bekerja secara terdistribusi. Aspek kedisiplinan, luaran kerja, dan prosedur kerja masih menjadi pekerjaan rumah organisasi untuk bertransformasi

Berdasar pada kondisi tersebut maka setidaknya agenda penelitian pengembangan perangkat lunak di era pendemi harus mempertimbangkan

  1. Proses kerja yang mengombinasikan antara bekerja kilaboratif dan bekerja mandiri sehingga jam kerja yang sama dapat dimanfaatkan secara efektif untuk bekerja mandiri dan kolaborasi. Sayangnya hingga saat ini belum ada pemetaan kerja pengembangan perangkat lunak mana yang cocok dikerjakan mandiri dan mana yang cocok dikerjakan secara bersama.
  2. Organisasi perlu menyiapkan lingkungan yang kondusif berdasar pada situasi rumah masing-masing. Memberikan ruangan-ruangan kerja yang aman dan nyaman untuk memfasilitasi bekerja yang memenuhi protokol kesehatan. Perlu dilakukan penelitian pengukuran kelayakan situasi work from home bagi tim pengembang
  3. Organisasi perlu melakukan kajian perangkat dan proses kerja untuk berkolaborasi jarak jauh. Semisal menggunakan perangkat kolaborasi seperti Microsoft Teams atau Visual Studio Live Share. Perlu dilakukan penelitian yang mengukur efektivitas proses kerja kolaborasi digital tersebut

Demikian agenda penelitian research area Cloudex, bagaimana dengan perusahaan Anda? Apa sudah siap untuk melakukan pengembangan perangkat lunak secara terdistribusi?

 

Referensi

  1. Global Software Development
  2. Global eXtreme Programming

 

@ridife

Validasi KTP dengan Pendekatan Age Progression

Articles Tuesday, 27 April 2021

Ketika KTP Berlaku Seumur Hidup

Seseorang memperoleh KTP pada saat berumur 17 tahun. Indonesia menerapkan KTP seumur hidup artinya terdapat kemungkinan 6 dekade KTP tersebut berlaku. Lantas, apakah KTP tersebut masih dapat melakukan fungsinya sebagai kartu tanda penduduk yang menandai pemegang ktp saat ini? Seperti misalnya foto lama yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini atau distorsi foto akibat kondisi kertas ktp yang mulai termakan usia.

Sementara KTP adalah satu satunya identitas yang diakui negara yang memiliki fungsi untuk melakukan berbagai skenario vital dalam kehidupan seperti.

  1. Melakukan validasi otopsi terhadap seseorang dengan kartu identitasnya
  2. Melakukan validasi kegiatan sosial seperti penyaluran bantuan, tracking orang hilang, hingga validasi santunan kematian
  3. Sebagai alat autentikasi aktivitas penting seperti pemilu, ujian nasional, atau yang lain.

Berdasar kondisi demikian maka pengenalan ID KTP terutama dikaitkan dengan foto yang terdapat pada KTP dan juga kondisi nyata seseorang perlu dibahas lebih lanjut.

Foto KTP dan Age Progression

Berbagai upaya mengenali sesorang berdasarkan perubahan umur sudah banyak dilakukan. Pada umumnya proses tersebut dilakukan dengan memahami pola perubahan seseorang sehingga dapat memprediksi perubahan yang terjadi berdasar feature muka. MORPH, CACD, dan FGNET dataset telah menujukkan serangkaian kemajuan yang memadai untuk melakukan proses identifikasi age progression seseorang. Sayangnya metode deep learning yang sudah dikembangkan hanya sebatas dalam dataset yang memiliki beberapa foto perubahan umur. Tantangannya adalah bagaimana jika validasi hanya dilakukan dengan berdasar satu kartu identitas?

Penelitian ini mengawali dengan mengumpulkan dataset KTP dan kondisi saat ini seseorang. Berbekal VGGFace-2 model yang dimodifikasi, penentuan klasifikasi dengan SVM menunjukkan hasil yang memadai. VGGFase 2 modifikasi dapat mengidentifikasi kesesuaian seseorang berdasar KTP dengan akurasi 0.93, yang jauh lebih baik dengan yang sebelumnya yakni 0.73

Publikasi

Deep learning pre-trained model as feature extraction in facial recognition for identification of electronic identity cards by considering age progressing

M Usgan1, R Ferdiana1 and I Ardiyanto1

Published under licence by IOP Publishing Ltd

IOP Conference Series: Materials Science and Engineering, Volume 1115, International Conference on Science, Technology, Engineering and Industrial Revolution (ICSTEIR 2020) 14th-15th November 2020, West Java, Indonesia

Citation M Usgan et al 2021 IOP Conf. Ser.: Mater. Sci. Eng. 1115 012009

https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1757-899X/1115/1/012009

ilustrasi video game

Efek Video Game di Masa Pandemi

Articles Saturday, 27 March 2021

Video Game – Sektor Hiburan Terkuat di Masa Pandemi

Suasana school from home dan mobilitas terbatas mendorong masyarakat untuk melakukan kegiatan di dalam rumah. Bersekolah, beribadah, dan tentu saja bermain di dalam rumah.  Salah satu permainan yang menarik adalah permainan video game. Video game adalah permainan berbasis visual menggunakan komputer grafis dan antarmuka komputer seperti keyboard, game controller, atau bahkan sensor natural seperti Kinect.

Permainan video game di era pandemi meningkat sebesar 6% (40 juta unit) untuk pembelian Console seperti Xbox atau PlayStation. Sementara, pembelian TV juga meningkat sebesar 1%. Dengan kata lain, segmen Video Game semakin kuat, belum lagi mobile gaming yang meningkat 50% dibanding sebelum pandemi.

Sebagai sektor yang menggeser keberadaan bioskop dan film yang menurun penghasilannya, Video Game semakin luas dimainkan karena memberikan pengalaman interaktif dan visual yang menawan. Namun, dibalik kesuksesan video game terdapat pengaruh yang perlu dipahami dan dikaji yakni pengaruh kesehatan dan pengaruh kecanduan.

Seberapa Sehat Bermain Video Game

Video game bukanlah kegiatan yang sehat secara kasat mata. Gerakan tubuh yang terbatas dan Visual yang begitu kaya mengakibatkan kesehatan bukanlah hal yang menjadi prioritas dalam video game. Memang pada masa lalu, kita diperkenalkan berbagai video game yang menyehatkan sebut saja Kinect untuk berolah raga, atau Wii Controller untuk bermain tenis virtual. Masa-masa tersebut ternyata mudah berlalu, segmen pecinta video game lebih menyukai game yang dapat dimainkan di ruang terbatas bahkan sembari rebahan. Semakin lengkaplah para pemain game menjadi kurang gerak. Namun demikian, pada satu titik yang wajar, Video game sebenarnya membantu mengajarkan koordinasi (semisal menggerakkan steering wheel, pedal, dan transmisi pada e-Sport Racing), mengajarkan kita untuk mengingat sebuah gerakan kontrol (semisal jurus dalam Street Fighter), hingga mengingatkan kita untuk berstrategi. Kesimpulannya

Video game saat ini ‘sehat untuk otak’ tetapi belum tentu ‘sehat untuk fisik’

Kesehatan fisik yang umum terganggu dari video game adalah kurangnya gerak dan gangguan visual seperti kelelahan mata, hingga seizure (pusing yang begitu hebat akibat pergerakan yang cepat)

Cloud Experience telah melakukan beberapa penelitian seperti

  • Development and evaluation of a low cost music based exergame using microsoft kinect | IEEE Conference Publication | IEEE Xplore.
  • Video game seizure rating: A qualitative approach to measure photosensitive seizures on a video game | IEEE Conference Publication | IEEE Xplore

Seberapa Besar Pengaruh Adiksi di Video Game

Lalu bagaimana kecanduan video game? kecanduan video game adalah masalah yang sama seriusnya dengan kesehatan. Adiksi yang berlebihan mengakibatkan isu di kesehatan bahkan hingga menyebabkan kematian ketika orang bermain video game berlebihan. Sebagai contoh terdapat seseorang yang meninggal akibat bermain video game selama 22 hari.

Steve Rose memaparkan mengapa video game menjadi sesuatu yang membuat adiksi. Setidaknya terdapat beberapa alasan seperti

  • Video Game memberikan rasa bebas. Video Game open world seperti Final Fantasy atau yang lain memberikan sensasi aktivitas yang bebas. Kebebasan ini menjadi pemicu seseorang tetap berlama-lama di video game karena di video game mereka merasa bebas. Video game juga memberi identitas baru jika disandingkan kehidupan nyatanya.
  • Video game memberikan sebuah makna. Video game memberi makna dengan berbagai dorongan seperti leveling, pengembangan karakter virtual, hingga prestasi seperti e-Sport. Hal ini mengakibatkan pemain semakin rajin untuk meningkatkan ‘makna’ dengan bermain video game bahkan terhanyut dalam kondisi yang disebut ‘flow state’
  • Video game memberikan ‘perasaan terhubung’ dengan lingkungan virtual yang disajikan oleh video game. Sebut saja kesenangan bermain bersama dengan sesama pemain daring, kesukaan terhadap karakter yang menginspirasi, hingga merasakan ‘isolasi’ yang nyaman dalam lingkungan yang tak nyata.

Ketiga hal tersebut berpotensi menghadirkan suatu istilah yang dikenal dengan gaming disorder, sebuah kondisi ketika bermain video game mengakibatkan kehidupan nyatanya menjadi tidak tertata seperti malas belajar, malas bekerja, hingga malas hidup di dunia nyata. Ya, mirip seperti film Player One  . Jadi bagaimana mengatasi sebuah adiksi video game? kita akan membahasnya di pos lainnya.

 

Requirements Elicitation Framework untuk Aplikasi Pembelajaran Anak

Articles Thursday, 18 February 2021

  Requirements elicitation (RE) adalah merupakan tahapan awal dalam requirements engineering dan merupakan tahapan krusial[1], [2], [3]. Kegagalan dalam RE sering terjadi karena masalah komunikasi dan kesalahan dalam memilih teknik elisitasi yang sesuai[4]. Keterlibatan anak secara langsung dalam proses elisitasi sering tidak dilakukan oleh pengembang. Keterbatasan kemampuan komunikasi menjadi alasan tidak dilibatkannya anak dalam proses elisitasi[5]. Alasan lain adalah waktu pembangunan yang pendek dan cepat juga menjadi tidak dilibatkannya anak secara langsung terutama pada pendekatan modern (agile). Penelitian pada metode agile terus mendapatkan minat dan dukungan terutama diarahkan untuk menyelidiki proses RE, sehingga dapat diterapkan secara efektif dengan teknik RE yang tetap mempertahankan prinsip-prinsip dasar dari teknik tersebut [6].

Pada pembangunan aplikasi pembelajaran anak, keterlibatan anak secara langsung sangat diperlukan terutama dalam proses RE. Hal tersebut dikarenakan anak memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap level perkembangan usianya [7]. Perbedaan tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap bentuk gaya belajar dan thinking skills level yang disajikan dalam aplikasi pembelajaran yang dibangun[8]. Permasalahan lain yang perlu diperhatikan saat proses RE adalah ketersediaan dokumentasi sebagai alat dalam melakukan verifikasi dan validasi requirements[9, 10]. RE  framework yang ada saat ini belum dapat memberikan panduan secara lengkap ketika diterapkan pada pembangunan aplikasi pembelajaran anak. Kecenderungan requirements elicitation framework dibuat untuk orang dewasa [1],[11],[12]. Kondisi saat ini framework yang dibuat untuk anak cenderung berfokus hanya pada tahap desain dan pengujian aplikasi [13], [14], [15]. Pemilihan teknik elisitasi yang memerhatikan karakteristik anak diperlukan sehingga membantu tim elisitasi ketika melibatkan anak secara langsung dalam proses elisitasi. Alat elisitasi diperlukan juga untuk dapat memudahkan tim elisitasi dalam berkomunikasi dengan anak dan membantu mengarahkan aspek-aspek yang perlu digali pada aplikasi pembelajaran anak.

Pada Model REFCLA, teknik elisitasi telah ditentukan dengan menggunakan pendekatan faktor situasi konstektual. Hal itu dilakukan agar teknik yang ditentukan dari berbagai elemen tidak hanya berdasar pada kemampuan tim elisitasi saja. Pendekatan faktor situasi konstektual adalah pendekatan yang memerhatikan penentuan elisitasi berdasarkan elemen elicitor, informant, problem domain dan elicitation process[16]. Teknik elisitasi yang telah didapatkan juga dilengkapi dengan alat bantu agar proses elisitasi dapat dilakukan dengan baik dan benar. Alat bantu elisitasi yang dibangun dengan pendekatan persona. Pendekatan persona dipilih dengan alasan alat bantu dihasilkan sesuai dengan karakteristik anak sebagai pengguna aplikasi. Pada alat elisitasi juga dilengkapi dengan hasil dokumentasi dalam bentuk user requirements document (URD). Tujuannya agar proses dokumentasi dapat dilakukan secara langsung ketika proses pengambilan data dilakukan. Panduan URD dibuat dengan menyesuaikan aspek-aspek yang perlu ada dalam aplikasi pembelajaran anak. Kualitas URD yang dihasilkan juga diukur menggunakan requirements sentences quality (RSQ) dan requirements document quality (RDQ)[17].

Gambar 1. Perbandingan penerapan RE current framework dengan REFCLA pada agile-scrum

Dalam model REFCLA, iterasi cukup dilakukan pada akitivitas elisitasi dan secara otomatisasi proses dokumentasi terbentuk, tetapi berbeda pada alur current framework. Pada current framework, proses iterasi terkadang perlu dilakukan dari teknik elisitasi sehingga memerlukan waktu yang lebih Panjang dan cenderung dokumentasi dilakukan secara manual. Kondisi tersebut tentunya tidak sesuai dengan konsep Agile-Scrum. Gambar 1 menjelaskan perbandingan alur dan penerapan RE current framework dengan REFCLA pada pendekatan metodologi Agile-Scrum.

Model REFCLA merekomendasikan teknik prototipe dan wawancara ketika melibatkan anak dalam proses elisitasi. Kedua teknik tersebut direkomendasikan karena memiliki rata-rata nilai tertinggi, yaitu 13,4 untuk prototipe dan 11,25 untuk wawancara. Alat bantu elisitasi yang dihasilkan dari persona anak adalah berupa aplikasi. Aplikasi elisitasi telah diujikan pada anak dan hasil pengukuran kepuasan pengguna mendapatkan nilai kepuasaan >= 80%. Validasi model REFCLA juga dilakukan dengan pendekatan eksperimental, dimana dilakukan perbandingan antara current framework hasil tahap eksplorasi dari beberapa pengembang dengan model REFCLA yang diusulkan. Pada tahap validasi REFCLA diberikan studi kasus tertentu dan dibangun sebuah skenario dengan melibatkan tiga tim ujicoba.  Hasil perbandingan pengukuran waktu REFCLA dengan current framework dilakukan menggunakan pendekatan non-parametrik Wilcoxon dan didapatkan nilai P=0,003. Artinya bahwa perbandingan waktu yang dihasilkan memiliki perbedaan dan dapat disimpulkan bahwa REFCLA memiliki waktu lebih cepat T=1,35 detik dalam proses pengambilan data dari responden. Hasil pengukuran aplikasi elisitasi menggunakan Technology Acceptance Models (TAM) didapatkan nilai 87,4% yang menyatakan bahwa aplikasi memiliki penilaian positif untuk digunakan. URD yang dihasilkan secara otomatisasi dari aplikasi elisitasi memiliki penilaian kualitas cenderung berada dalam kriteria sangat setuju (80%- 100%) dan setuju (60%- 79,99%). Kesimpulannya bahwa URD dapat digunakan sebagai dokumentasi yang baik digunakan pada tahap RE. Dengan demikian REFCLA dapat diterapkan pada pendekatan modern yang memerlukan kecepatan dalam setiap iterasi perubahannya.

 

Referensi

[1]        Bo C, Xiang-Wu M, Jun-Liang C. An Adaptive User Requirements Elicitation Framework. 31st Annu Int Comput Softw Appl Conf – Vol 2 – (COMPSAC 2007) 2007; 2: 501–502.

[2]        Gottesdiener E. Requirements by collaboration: Getting it right the first time. IEEE Softw 2003; 20: 52–55.

[3]        Hofmann HF, Lehner F. Requirements engineering as a success factor in software projects. IEEE Softw 2001; 18: 58–66.

[4]        Davey B, Cope C. Requirements Elicitation – What’s Missing? Proc 2008 InSITE Conf; 5. Epub ahead of print 2008. DOI: 10.28945/3261.

[5]        Nousiainen T. Children’s Involvement in the Design of Game-Based Learning Environments Cases Talarius and Virtual Peatland. Des Use Serious Games 2009; 37: 49–66.

[6]        De Lucia A, Qusef A. Requirements engineering in agile software development. J Emerg Technol Web Intell 2010; 2: 212–220.

[7]        Vatavu RD, Cramariuc G, Schipor DM. Touch interaction for children aged 3 to 6 years: Experimental findings and relationship to motor skills. Int J Hum Comput Stud 2015; 74: 54–76.

[8]        Skiada R, Soroniati E, Gardeli A, et al. EasyLexia: A mobile application for children with learning difficulties. In: Procedia Computer Science. Elsevier Masson SAS, pp. 218–228.

[9]        Davis A, Overmyer S, Jordan K, et al. Identifying and Measuring Quality in a Software Requirements Specification. In: Software Metrics Symposium, 1993. Proceedings., First International. 1993, pp. 141–152.

[10]      Lamsweerde A Van. From System Goals to UML Models to Software Specifications. 2009. Epub ahead of print 2009. DOI: 10.1109/19.481329.

[11]      Rana Y, Tamara A. An enhanced requirements elicitation framework based on business process models. Sci Res Essays 2015; 10: 279–286.

[12]      Azadegan A, Papamichail KN, Sampaio P. Applying collaborative process design to user requirements elicitation: A case study. Comput Ind 2013; 64: 798–812.

[13]      Sluis-Thiescheffer RJW, Bekker MM, Eggen JH, et al. Development and application of a framework for comparing early design methods for young children. Interact Comput 2011; 23: 70–84.

[14]      Colombo L, Landoni M. A diary study of children’s user experience with eBooks using flow theory as framework. ACM Int Conf Proceeding Ser 2014; 135–144.

[15]      Gelderblom H, Kotzé P. Designing technology for young children: What we can learn from theories of cognitive development. ACM Int Conf Proceeding Ser 2008; 338: 66–75.

[16]      Carrizo D, Dieste O, Juristo N. Systematizing requirements elicitation technique selection. Inf Softw Technol 2014; 56: 644–669.

[17]      F. Fabbrini, M. Fusani, S. Gnesi GL. Quality Evaluation of Software Requirement Specifications, http://citeseer.uark.edu:8080/citeseerx/viewdoc/summary;jsessionid=64C7FDDE2D00F418C3376EF997F6424E?doi=10.1.1.98.4333 (2001).

 

Editor

Octi Wulandari

Peneliti

Mira Kania Sabariah, Paulus Insap Santosa, Ridi Ferdiana

Tahun

2021

Tautan Publikasi

On review

Virtual Lab Ideal Seperti Apa?

Articles Wednesday, 27 January 2021

Praktikum di masa Pandemi

Salah satu tantangan dalam era pandemi adalah bagaimana memberikan pengalaman praktik bagi peserta didik dalam kerangka terstruktur. Praktikum sebagai jawaban memberi pengalaman praktik terstruktur memiliki tantangan yang nyata di masa pandemi. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan akses menuju ruang, peralatan, dan interaksi praktikum yang umumnya dilakukan berkelompok.

Berdasar kondisi saat ini maka potensi virtual lab menjadi lebih besar daripada biasanya dikarenakan ‘janji’ yang memungkinkan pelaksanaan praktikum dapat dilaksanakan daring. Namun demikian, cerita indah tersebut tentu tidak bisa dilaksanakan begitu saja terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan apakah sebuah lab itu layak dijadikan virtual lab atau tidak. Presentasi ini memaparkannya untuk Anda.

Berdasarkan pada presentasi tersebut maka setidaknya tiga hal yang perlu disiapkan

  • Infrastruktur dan konektivitas
  • kesiapan modul dan media praktikum
  • prosedur dan kebijakan pelaksanaan virtual lab

Jika ketiga tersebut sudah tersedia baru mempertimbangkan pelaksanaan virtual lab.

Pelaksanaan Virtual Lab

Dalam kacamata pembelajaran virtual lab diartikan sebagai memindahkan pengalaman belajar laboratorium / praktikum dalam pengalaman daring dan virtual. Tidak ada interaksi fisik, penggunaan alat, atau visitasi ke laboratorium semuanya dilakukan virtual. Hal ini tentu akan sangat berat untuk praktikum yang membutuhkan kehadiran fisik seperti praktikum membedah, tetapi akan sangat mungkin untuk praktikum yang lebih sederhana seperti simulasi atau dry-lab. Hal apa saja yang harus ada dalam sebuah pelaksanaan praktikum ditampilkan pada gambar berikut

Dengan kata lain jika praktikum hanya menggunakan komputer maka penerapan komputer akan sangat tepat dilaksanakan selama tersedia infrastruktur, modul, dan kebijakan.

Contoh Implementasi Virtual Lab

Berikut adalah contoh implementasi virtual lab dengan kasus praktikum pemrograman. Pada contoh ini diasumsikan bahwa perangkat komputasi yang dimiliki peserta adalah heterogen sehingga perangkat spesifikasi komputasi disediakan oleh layanan komputasi awan.

  • Program studi menyediakan layanan komputasi awan berbasis virtual lab seperti Azure. Atau menyediakan private cloud berbasis hypervisor.
  • Laboratorium menyediakan kelas virtual semisal dengan Microsoft Teams
  • Laboratorium menyediakan mesin virtual yang meliputi
    • Sistem operasi dan perangkat lunak yang dibutuhkan
    • Jaringan virtual yang memungkinkan kolaborasi antar mesin virtual (opsional)
    • Modul yang dibenamkan dalam mesin virtual
    • Kode sumber praktikum
    • Akses ke assessment pengguna
  • Akses mesin virtual kemudian didaftarkan ke sistem virtual lab, dengan menyebarkan akses kepada masing-masing pengguna
  • Hasil assessment dapat dikumpulkan melalui Microsoft Teams kemudian diperiksa oleh asisten dan dosen pembimbing praktikum

Menurut Anda apa tantangan terbesar virtual lab? mari berdiskusi

 

 

Klasifikasi Suara Kucing dengan Jaringan Saraf Konvolusional

Articles Monday, 11 January 2021

Pahami bahasa Kucing ciptakan ikatan emosi

Kucing adalah salah satu hewan yang difavoritkan untuk menjadi peliharaan. Tak jarang, pecinta kucing dibuat gemas dengan tingkah laku dari hewan berbulu ini.Namun, siapa sangka suara meong yang dihasilkan kucing setiap kali menyampaikan keinginannya kini dapat diterjemahkan ke dalam bahasa manusia beserta emosinya. Seorang peneliti telah menciptakan aplikasi unik yang dapat menerjemahkan ‘bahasa kucing’ ke dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia. Nama aplikasinya adalah Catsign mungkin ada kiranya saat anda ingin membantu dipengembangan ini bisa mendownload aplikasinya dengan mencari “CATSIGN” menggunakan tanda petik dan huruf capital dan didownload gratis .

Sementara itu pengembangan catsign, peneliti menerapkan jaringan saraf konvolusional untuk melakukan klasifikasi suara dari berbagai suara yang dibuat oleh kucing. Data terdiri dari suara kucing yang dilabeli sebagai emosi. Model kemudian akan digunakan untuk mengklasifikasikan emosi ini berdasarkan suara kucing. Untuk melakukan itu, peneliti melakukan ekstraksi fitur dengan koefisien mel-frequency cepstral coefficients (MFC) yang merupakan koefisien kolektif cepstrum frekuensi mel. Peneliti akan membahas arsitektur CNN dengan fitur yang dihasilkan oleh MFCcs dengan kinerja scorenya

Rahasia dapur sang pengembang

Penggunaan jaringan saraf konvosional

Convolutional Neural Network adalah kelas dari deep neural network yang dibangun berdasarkan model multilayer perceptron. lapisan konvolusional ini masing-masing terdiri dari beberapa neuron atau node yang saling terhubung ke lapisan berikutnya dan ditumpuk bersama-sama untuk membangun arsitektur yang dalam. CNN dibangun di atas Setiap titik data dan kemudian akan dipasang ke lapisan ini sehingga model peneliti dapat mempelajari fitur hierarki tingkat tinggi dari data yang sudah ada.

GAMBAR 1. Visualisasi jaringan saraf konvolusional yang digunakan dalam penelitian ini.

MEL-FREKUENSI CEPSTRUM

Mel-frequency cepstrum adalah representasi visual suara sebagai spektrum, seperti spectrogram. Koefisien cepstral frekuensi mel adalah koefisien yang membentuk MFC. Dalam MFCC, setiap bin frekuensi berjarak secara kuasi-logaritma kira-kira menyerupai resolusi sistem pendengaran manusia dibandingkan dengan ogramr spect standar yang memiliki jumlah hertz yang sama untuk setiap ruang bin frekuensi. Ini membuat MFC memiliki fitur yang lebih terinspirasi biologis dan berkinerja lebih baik dalam pengenalan ucapan dan pemisahan serta dalam klasifikasi suara hewan . Contoh lain dari representasi frekuensi waktu yang dapat digunakan untuk klasifikasi suara hewan adalah spectogram berbasis komponen harmonik dan spectogram berbasis komponen perkusif .
Angka ini kemudian dapat diukur berdasarkan jumlah koefisien yang ditentukan dan laju sampel audio. Hasil visualisasi MFCCs dapat dilihat di Gbr. 2

Gambar 2. Memvisualisasikan suara mengeong kucing menggunakan MFCC.

Set Data

Peneliti akan mengumpulkan data dari ontologi audio berlabel manusia yang disebut audioset. Setiap entri audioset adalah klip suara berjarak 10 detik yang diambil dari video YouTube. Dari ontologi ini, peneliti akan mengambil data suara yang dikategorikan sebagai data suara kucing. Kategorisasi data ini terdiri dari mendengkur yang merupakan suara yang dibuat oleh kucing untuk menunjukkan kesenangan santai, mengeong yang merupakan komunikasi nada klasik yang dibuat oleh kucing, mendesis yang merupakan suara ketika kucing memberikan peringatan atau menunjukkan ketidaksetujuan, caterwaul, yang merupakan suara yowling yang dibuat oleh kucing dalam panas, dan menggeram yang merupakan tanda agresi atau ekspresi kemarahan dari kucing.

Hasil Eksperimen yang diharapkan

Mengumpulkan Data

Sebelum menuju hasil, peneliti mengumpulkan data untuk memilih data berdasarkan label tertentu pada audioset. Label yang kita pilih lebih murni, mengeong, menggeram, mendesis, dan caterwaul. Masing-masing suara ini akan digunakan untuk menginterprasi suara kucing tertentu. Mendengkur dikategorikan bahagia atau santai, mengeong dikategorikan netral, menggeram dikategorikan sebagai kemarahan atau agresi, mendesis dikategorikan berhati-hati atau tegang, dan katering dikategorikan kesepian.

Gamba 3. Oscillogram masing-masing sampel suara kucing, dari atas ke bawah: lebih murni, mengeong, menggeram, mendesis, caterwaul.

Audioset pada suara kucing terdiri dari 3.964 data. Tetapi, karena sifat ontologi itu sendiri, data pada audioset dapat terdiri dari beberapa label, peneliti memilih untuk mengumpulkan data yang hanya memiliki label yang ditentukan(purr, meow, menggeram, mendesis, dan katerwaul) dan tidak ada yang lain. Beberapa data dari audioset juga tidak tersedia karena video di youtube dihapus atau tidak tersedia di negara kita. Pada akhirnya peneliti berhasil mengumpulkan 595 data yang dibagi menjadi 5 labels yang dapat dilihat pada Tabel1

Gambar 4. Perbandingan antara visualisasi suara dengan MFCC (atas) dan spektrogram (bawah).

Terbatasnya jumlah data tidak diragukan lagi akan mempengaruhi kinerja model peneliti. Bahkan lebih, jumlah data yang tidak seimbang pada setiap label juga akan mempengaruhi kinerja dengan cara negatif. Di masa depan peneliti berharap untuk melakukan eksperimen ini dengan jumlah tambahan dan data yang lebih seimbang.
Setiap data dalam audioset ditautkan ke video youtube tertentu yang berisi suara dan cap waktu dalam durasi 10 detik. Untuk proses pengunduhannya sendiri, peneliti akan menggunakan perangkat lunak sumber terbuka yang disebut FFmpeg dan skrip python. peneliti akan mengunduh bagian audio video youtube pada stempel waktu yang ditentukan dengan laju sampel 44100, 2 saluran, kedalaman 16 bit, dan format .flac.

Transformasi Data

Sebelum peneliti dapat menggunakan data audio untuk melakukan pelatihan model, pertama, peneliti melakukan proses transformasi pada data. Dalam langkah ini, peneliti memilih Koefisien cepstral frekuensi Mel (MFC). Dengan menggunakan MFCC, model akan dapat menganalisis frekuensi suara pada data dalam karakteristik berbasis waktu. Ini karena MFCC meringkas distribusi frekuensi pada durasi data. Gbr. 4 adalah visualisasi MFC jika dibandingkan dengan spectrogram
Dalam proses ini, kita akan mengekstrak nilai numerik dari MFCC. Untuk ekstraksi MFCCs kita akan mengambil 40 koefisien dari data audio . Peneliti juga akan menentukan 431 sebagai jumlah maksimum fitur yang dapat diekstraksi dari data. Jadi, setelah transformasi, bentuk data peneliti adalah matriks dua dimensi 40 oleh 431.

Eksperimen

Untuk penelitian ini, peneliti memilih untuk menggunakan model konvolusional dengan empat lapisan. Lapisan konvolusional dapat mendeteksi fitur dari data dengan mengarahkan kursor ke data pada ukuran jendela tertentu. Node ini adalah bagian dari model peneliti yang melakukan pelatihan dan prediksi berdasarkan data. Untuk model , setiap lapisan konvolusional akan memiliki jumlah node yang meningkat. peneliti akan menggunakan 16 node di lapisan input hingga 128 node pada lapisan akhir. Dalam model ini, akan menerapkan lapisan pooling. Lapisan pooling ini akan dikaitkan dengan masing-masing lapisan konvolusional untuk mengurangi dimensi model. dengan mengurangi dimensi, peneliti juga akan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk pelatihan. data akan dibagi menjadi data pelatihan dan pengujian. Untuk data pelatihan, Peneliti akan menggunakan 80% dari set data dan untuk data pengujian, Peneliti akan menggunakan 20% dari set data. Untuk proses validasi, Peneliti akan menggunakan akurasi untuk mengukur kinerja model pembelajaran mesin yang diteliti.

Hasil

Model yang dihasilkan dengan prediksi sebagai berikut, pada data pelatihan, model peneliti dapat memprediksi suara kucing dengan benar 88,473254% persen dari waktu, tetapi pada data pengujian , model hanya dapat memprediksi 70. 80734% persen dari waktu. Ini berarti ada sekitar 20% perbedaan antara kinerja model pada data pelatihan dan data pengujian.

Gambar 5. Confusion Matriks tentang keakuratan model saat mengklasifikasikan data pelatihan (atas) dan data pengujian (bawah).

Perbedaan antara akurasi pelatihan dan akurasi pengujian ini dapat terjadi karena overfitting yaitu ketika model peneliti terlalu terbiasa dengan data pelatihan. Peneliti menyimpulkan bahwa ini terjadi karena set data memiliki terlalu sedikit data dan model, tidak dapat melakukan proses pelatihan secara efektif.
Untuk meningkatkan akurasi model, melakukan dengan data baru, lalu perlu meningkatkan jumlah data yang digunakan untuk pelatihan dan menyeimbangkan data, sehingga setiap label memiliki ammount data yang sama dan menerapkan metode augmentasi data pada data.

Intisari Penelitian

Peneliti berusaha membangun model jaringan saraf konvolusional yang mampu melakukan klasifikasi suara dari berbagai jenis suara kucing.Model peneliti mampu berkinerja baik dengan menerapkan transformasi koefisien cepstrum frekuensi mel pada data suara. Dari proses pelatihan, model peneliti mampu menghasilkan akurasi yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan studi lain dengan metode yang berbeda, ketika mempertimbangkan jumlah data terbatas yang tersedia dan waktu terbatas untuk proses pelatihan. Masalah yang peneliti temukan dalam penelitian ini adalah bahwa dalam model, karena terbatasnya jumlah data dan keadaan set data yang tidak seimbang, model sedikit terlalu sesuai dengan data pelatihan. Di masa depan, peneliti ingin meningkatkan model dengan memperluas set data dan bahkan keluar setiap kategori yang berbeda, serta menerapkan augmentasi suara untuk mengurangi overfitting dan meningkatkan akurasi model .

 

Editor

Octi Wulandari

Peneliti

Ridi Ferdiana dan William Fajar

Tahun

2020

Tautan Publikasi

 IJEEI

123

Recent Posts

  • Paper Publikasi Cloud Experience – Update Juli 2025
    August 4, 2025
  • Tips Menyusun Perumusan Masalah Yang Benar di Bidang Teknik
    January 27, 2025
  • Software Engineering Research Roadmap for 2025
    December 27, 2024
Universitas Gadjah Mada

CLOUD EXPERIENCE RESEARCH GROUP

Department of Electrical Engineering & Information Technology

Faculty of Engineering 

Universitas Gadjah Mada

 

Jl. Grafika No.2 Sinduadi, Mlati, Sleman

Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, Indonesia

+ 62 123 456 789

cloudex@yeah.com

Recent Posts

  • Paper Publikasi Cloud Experience – Update Juli 2025
  • Tips Menyusun Perumusan Masalah Yang Benar di Bidang Teknik
  • Software Engineering Research Roadmap for 2025
  • Deteksi Pornografi dengan Gelombang Otak

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY