Universitas Gadjah Mada Cloud Experience Research Group
Department of Electrical Engineering & Information Technology
Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • 2020
  • page. 3
Arsip:

2020

Percepatan Inklusi Keuangan Melalui Demokratisasi Teknologi

Articles Wednesday, 17 June 2020

Abstrak

Layanan keuangan dari perbankan menjadi salah satu elemen penting dalam siklus perekonomian. Misalnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kredit usaha rakyat dapat menjadi salah satu kanal permodalan, baik untuk memulai atau mengakselerasi bisnisnya. Sayangnya, jumlah masyarakat unbanked (tidak tersentuh layanan bank) masih sangat tinggi di Indonesia. Sebagai langkah represif, inklusi keuangan digalakkan oleh berbagai pihak – kini yang paling kentara dilakukan teknologi finansial (finansial technology; fintech). Didukung teknologi seperti komputasi awan, kecerdasan buatan, pembelajaran mesin, dan analisis data; kegiatan inklusi keuangan menjadi lebih efisien. Institusi keuangan non-perbankan dapat turut andil dengan tetap meminimalisir berbagai risiko yang mungkin terjadi. Dalam tulisan ini, diulas mengenai demokratisasi teknologi untuk membantu inklusi keuangan – baik yang sudah diaplikasikan maupun yang berpotensi untuk digunakan di kemudian hari.

Isi Artikel

“Indonesia akan menjadi negara maju dan diperhitungkan dunia.”

Ungkapan (atau keyakinan) tersebut dewasa ini menjadi diskursus dalam berbagai diskusi publik oleh berbagai kalangan – pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, hingga investor. Penelitian bahkan memproyeksikan, pada tahun 2030 mendatang peningkatan ekonomi Indonesia akan menempati peringkat ke-7 secara global [1]. Bukan tanpa alasan, banyak indikator yang mulai memperlihatkan bahwa bangsa ini tengah on-track ke arah sana. Salah satunya pemberdayaan yang dilakukan secara kontinyu, menyokong bisnis dari skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemberdayaan tersebut memang layak diprioritaskan, per tahun 2018, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat ada sekitar 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka berhasil menyerap 116,9 juta tenaga kerja, atau setara 97% dari seluruh serapan tenaga kerja nasional [2].

Namun untuk mencapai cita-cita tersebut, secara praktik, ada beberapa isu yang menjadi permasalahan umum. Salah satu yang paling signifikan mengenai akses ke layanan finansial. Menurut laporan [3], ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; 26% underbanked; dan hanya 23% banked. Terminologi unbanked merujuk pada golongan masyarakat yang sama sekali tidak tersentuh layanan finansial dan perbankan – termasuk sekadar memiliki akun bank. Sementara underbanked adalah mereka yang tidak terlayani maksimal oleh perbankan, contoh paling riil ketika seorang nasabah tidak pernah disetujui pengajuan pinjaman atau kartu kreditnya. Berkorelasi langsung dengan laju pertumbuhan UMKM, pasalnya tidak sedikit pelakunya datang dari kalangan tersebut.

Pada sebuah sistem ekonomi, peran layanan krusial menjadi sangat penting, terlebih untuk perputaran arus kas bisnis. Sebagai contoh, pebisnis memerlukan akses perkreditan untuk mendapatkan modal memulai atau mengakselerasi bisnis. Pebisnis juga perlu akses ke transaksi kilat saat berhubungan dengan pelanggan atau pemasok bahan – terlebih di era e-commerce seperti saat ini. Kadang pebisnis juga perlu asuransi untuk melindungi berbagai aset yang dimiliki. Selain akses, rendahnya literasi digital menjadikan persentase unbanked tersebut sangat tinggi.

Teknologi finansial memberikan solusi

Teknologi finansial atau financial technology (fintech) merupakan terobosan layanan keuangan melalui ranah digital. Pada umumnya memungkinkan pengguna untuk mendaftar dan mengakses sebuah produk finansial melalui situs web atau aplikasi ponsel pintar. Variannya bermacam-macam, mulai dari platform dompet digital (e-money), pinjaman masyarakat (peer-to-peer lending), hingga asuransi digital (insurtech) [4]. Satu hal yang membedakannya dengan layanan finansial yang ada sebelumnya, platform-platform tersebut cenderung dapat diakses dengan prosedur dan persyaratan yang relatif mudah – diimbangi dengan kapabilitas layanan yang terbatas karena tidak wajib dikelola oleh lembaga perbankan; misalnya untuk layanan dompet digital batas nilai yang boleh disimpan adalah Rp10.000.000,- [5]. Terlebih sebagian besar layanan tersebut dihadirkan oleh perusahaan rintisan.

Kemudahan dalam proses pengembangan teknologi menjadikan jumlah pemainnya tumbuh secara signifikan sejak mulai booming sekitar tahun 2015; dan tidak sedikit yang menjadikan pertumbuhan UMKM sebagai pangsa pasar [6]. Salah satu vertikal yang tumbuh subur adalah peer-to-peer lending, memungkinkan kalangan personal atau institusi non-bank memberikan pinjaman (sebagian besar) kepada UMKM untuk modal usaha. Hingga 31 April 2020 terdapat 161 pemain yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Meninjau dari sudut pemain industri, mereka memanfaatkan betul produk-produk dan kapabilitas teknologi terkini, misalnya komputasi awan (cloud computing), untuk mengembangkan produk digital secara cepat, hingga menjadikan mereka fokus pada nilai proposisi bisnis.

Kepala Perizinan dan Pengawasan Fintech Direktorat Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non Bank OJK Alvin Taulu mengatakan [7], selain berperan menyediakan infrastruktur, layanan komputasi awan diharapkan mampu membawa sektor fintech naik kelas. Misalnya untuk memungkinkan para pemain hadirkan fitur e-signature hingga electronic know your customer (e-KYC) secara efisien. Dan arah pengembangan platform yang ada saat ini memang ke sana – semua mengupayakan automasi untuk mempercepat proses. Automasi diartikan bahwa beberapa pemrosesan dilakukan secara otomatis oleh komputer, melibatkan sistem komputasi cerdas.

Peningkatan teknologi tingkat lanjut

Fintech di Indonesia bis dikatakan masih dalam tahap awal, sehingga banyak langkah preventif yang coba dikonsolidasikan para pemangku industri. Misalnya yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) dengan meluncurkan pusat data bersama [8]. Tujuannya untuk membantu setiap pemain fintech terdaftar di OJK melakukan cross-check calon nasabah untuk menghindari risiko gagal bayar. Setiap pemain diwajibkan berpartisipasi aktif memperbarui data.

Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), pembelajaran mesin (machine learning), dan analisis data (data analytics) juga menjadi salah satu fokus investasi yang kini terus dieksplorasi manfaatnya oleh masing-masing pemain. Misalnya untuk menghadirkan penilaian kredit (credit scoring) yang efisien. Teknologi tersebut dapat membantu perusahaan menganalisis risiko kredit berdasarkan data-data yang dikumpulkan seperti yang bersumber dari aplikasi – menganalisis perangkat, akun media sosial, transaksi belanja di e-commerce dan lain-lain. Sedikit lebih maju ketimbang bank yang harus menyertakan data-data secara manual, misalnya melalui dokumen bukti penghasilan, pajak, hingga kepemilikan aset.

Inklusi keuangan yang lebih cepat

Kecerdasan buatan dapat mengerjakan analisis kelayakan dalam hitungan menit, sementara perbankan harus melakukannya secara manual melalui petugas analis, membutuhkan waktu berhari-hari hanya untuk tujuan yang sama, seperti memberikan kredit. Bahkan penerapan teknologi analisis data memungkinkan UMKM mendapatkan rekomendasi besaran pinjaman yang diajukan menimbang pada kebutuhan dan kemampuan pengembalian. Peran teknologi dalam mendemokratisasi sektor keuangan sudah mulai sampai ke tahap sana. Adanya fintech memberikan solusi, orang tidak lagi harus memiliki akun bank untuk dapat bertransaksi di e-commerce, berkirim uang secara daring, atau sekadar menampung hasil bisnis.

n pinjaman yang diajukan menimbang pada kebutuhan dan kemampuan pengembalian. Peran teknologi dalam mendemokratisasi sektor keuangan sudah mulai sampai ke tahap sana. Adanya fintech memberikan solusi, orang tidak lagi harus memiliki akun bank untuk dapat bertransaksi di e-commerce, berkirim uang secara daring, atau sekadar menampung hasil bisnis.

 

Referensi

[1] R. Oberman, R. Dobbs, A. Budiman, F. Thompson dan M. Rossé, “The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential,” McKinsey Global Institute, New York, 2012.
[2] Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, “Laman Resmi Depkop,” [Online]. Available: http://www.depkop.go.id/data-umkm. [Diakses 22 May 2020].
[3] Bain & Company, Google, Temasek, “The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services,” Bain & Company, Inc., Singapore, 2019.
[4] DailySocial, “Fintech Report 2019: Moving Towards a New Era in Indonesia’s Financial Industry,” DailySocial, Jakarta, 2020.
[5] Bank Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik,” [Online]. Available: https://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/PBI-200618.aspx. [Diakses 22 May 2020].
[6] M. Rosavina, R. A. Rahadi, M. L. Kitri dan S. Nuraeni, “P2P lending adoption by SMEs in Indonesia,” Qualitative Research in Financial Markets , vol. II, no. 11, pp. 260-279, 2019.
[7] T. Bosnia, “OJK: Cloud Computing Bisa Efisiensikan Fintech dan Pengawasan,” CNBC Indonesia, [Online]. Available: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20180516121346-37-15151/ojk-cloud-computing-bisa-efisiensikan-fintech-dan-pengawasan. [Diakses 22 May 2020].
[8] F. Sari, “Kurangi risiko fraud, AFPI luncurkan fintech data center,” Kontan, [Online]. Available: https://keuangan.kontan.co.id/news/kurangi-risiko-fraud-afpi-luncurkan-fintech-data-center. [Diakses 22 May 2020].

Profil Penulis

Randi Eka Yonida; sehari-hari beraktivitas sebagai Managing Editor & Researcher untuk media pemberitaan teknologi dan bisnis DailySocial.id; turut membersama beberapa usaha rintisan di bidang pemberdayaan UMKM, internet of things, dan pertanian untuk bertumbuh.

Rekayasa Balik Arsitektur Informasi

Articles Wednesday, 17 June 2020

Pentingnya Arsitektur Informasi

Pada dunia aplikasi web dan sistem informasi memiliki tatanan alur informasi yang selayaknya dipahami oleh masyarakat. Aplikasi web dan sistem informasi yang memiliki arsitektur informasi yang tepat akan memudahkan pengguna unruk melakukan navigasi, mencari informasi, dan memanfaatkan fitur aplikasi web yang dikembangkan. Sayangnya tidak semua web yang ada saat ini memenuhi kaidah arsitektur informasi yang benar. Arsitektur informasi yang tidak benar berakibat pada:

  1. banyak pengunjung yang bingung mencari informasi yang dibutuhkan
  2. Pengunjung mengalami overload informasi
  3. Navigasi yang sulit dipahami oleh manusia dan mesin pencari.

Bagi aplikasi web yang sudah terlanjur memiliki web operasional namun belum menerapkan konsep arsitektur informasi maka rekayasa balik arsitektur informasi solusinya. Rekayasa balik (Reverse Engineering) menjadi upaya untuk memahami kondisi existing dan kemudian melanjutkan untuk melakukan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut dari arsitektur informasi yang sudah didapat.

Proses rekayasa balik Arsitektur Informasi

Proses rekayasa balik dilakukan secara otomatis dengan melakukan parsing konteks dengan melakukan analisis pembacaan arsitektur informasi dan juga kode sumber. Parsing konteks akan menghasilkan sekumpulan komponen yang kemudian dilakukan spesifikasi komponen dan hubungan timbal balik komponen. Secara sederhana yang dilakukan adalah melakukan memahami komponen dan kaitannya antar satu komponen sehingga menghasilkan sebuah pohon arsitektur informasi. Setelah melakukan analisis komponen maka yang dilakukan adalah pemulihan desain. Pemulihan desain adalah membangkitkan kembali arsitektur informasi dan kebutuhan sistem. Kemudian membandingkan apakah hasil luaran sudah sesuai dengan kebutuhan awal. Langkah terakhir adalah melakukan rekonstruksi desain dengan model perancangan.

Untuk lebih memahami mari kita melihat kasus sebuah aplikasi web XYZ. Langkah rekayasa balik yang dilakukan adalah sebagai berikut:

  1. Web XYZ diambil dalam bentuk aplikasi web dan kode sumber
  2. Kode sumber dan aplikasi web diparsing untuk membaca struktur menu dan konten
  3. Struktur menu dan konten kemudian direlasikan antara satu dengan yang lain.
  4. Kemudian hasil relasi disandingkan dengan spesifikasi awal aplikasi web untuk kemudian disusun arsitektur informasinya
  5. Arsitektur informasi dapat diarahkan ke rekonstruksi design seperti use case, activity diagram, dan yang lain.

Dengan pendekatan ini dimungkinkan perbaikan berdasar aplikasi web yang sudah ada .

Editor

Ridi Ferdiana

Peneliti

Muhammad Fikri

Tahun

2020

Tautan Publikasi

On review

Dev Story – Insurance Tracking Program

Videos Monday, 15 June 2020

Startup dan Masyarakat Cashless

Articles Wednesday, 10 June 2020

Covid dan Cashless

Kondisi Pendemic Covid memberikan sebuah peluang tumbuhnya pergerakan tanpa uang tunai atau yang dikenal dengan cashless. Tanpa interaksi perpindahan uang tunai membuat beberapa masyarakat yakin akan terhindari dari resiko terpaparnya virus COVID-19 melalui media uang kertas dan uang logam. Cashless menjanjikan bagaimana masyarakat berinteraksi tanpa kontak fisik. Namun demikian, terdapat tantangan dalam menerapkan Cashless seperti:

  • Tim pengembang perlu menyiapkan infrastruktur dan pemenuhan standar cashless jika hendak mengembangkan sendiri
  • Tim pengembang perlu mengadopsi platform cashless yang sudah ada dan memenuhi berbagai prasyarat pengembang
  • Tim pengembang perlu memonitor transaksi dan tunduk pada peraturan yang berlaku

Tiga hal demikian akan sulit dilakukan bagi startup yang baru berkembang. Kebutuhan cashless yang menjadi arahan dan juga rekomendasi solusi transaksi mendorong dibutuhkannya model bagi startup untuk mengadopsi teknologi cashless di dalam solusinya. Berdasar pada kebutuhan tersebut lahirlah model implementasi Financial Technology di Startup (Financial Tech Model for Startup)

Fintech Model di Startup

Model Fintech bagi startup secara mendasar menjawab bagaimana sebuah startup akan menerapkan teknologi finansial dalam solusinya. Model ini akan menjawab

  1. Apakah startup saya perlu menerapkan FinTech dalam solusinya?
  2. Bagaimana tingkat kesiapan startup saya dalam mengadopsi Fintech?
  3. Apa model kematangan fintech yang dapat diadopsikan startup?

Model disusun dengan menggunakan pendekatan kuesioner yang akan mengukur

Variabel

Indikator

Transaksi Keuangan Berbasis Fintech

  • Sistem pembayaran
  • Manajemen investasi dan resiko
  • Penyediaan modal dan pinjaman

Dampak penggunaan Fintech

  • Pelayanan bertransaksi
  • Kemudahan transaksi
  • Biaya operasional
  • Pinjaman usaha modal
  • Perhitungan
  • Keamanan
  • Koneksi internet
  • Bunga pinjaman

Solusi Pengembangan Fintech

  • Jenis Aplikasi yang dikembangkan
  • Pengguna Aplikasi
  • Pemilihan platform FinTech

 

Editor

Ridi Ferdiana

Peneliti

Nuriah Indrarini

Tahun

2020

Tautan Publikasi

On review

Cloud Migration Estimation Index – Mengukur Kelayakan Pindah Ke Cloud

Articles Wednesday, 3 June 2020

Ke Cloud atau Tetap On-Premise

Pada saat kita memiliki solusi komputasi sebut saja seperti aplikasi web, aplikasi mobile, dan aplikasi yang berhubungan dengan solusi client server. Maka pilihan organisasi adalah berada di cloud atau berada di on-premise.

On-premise artinya organisasi memiliki tanggung jawab untuk melakukan perawatan dan persiapan segara infrastruktur seperti konektivitas, sumber daya komputer, jaringan, hingga sistem operasi terbaru. Berbagai kerepotan itu terbayar dengan ringannya biaya dan luasnya kontrol terhadap semua aspek sistem. Sebaliknya, on-premise juga mengakibatkan beban tambahan seperti harus melakukan kegiatan operasional seperti melakukan patching keamanan, memperbarui hardware pada saat kapasitas tidak mencukupi, hingga menjamin ketersediaan jaringan.

Solusi cloud disisi lain mengelemininasi berbagai biaya infrastruktur dan mengkonversinya ke biaya operasional. Namun demikian, solusi cloud akan menjadi cukup mahal jika organisasi memiliki keterbatasan biaya dan kebutuhan skalabilitas yang memadai. Dengan kata lain dibutuhkan estimasi yang mencukupi untuk meyakinkan bahwa organisasi layak menuju cloud computing atau tetap dengan kondisi yang saat ini yakni berbasis on-premise dan hosted. Pertimbangan seperti ini tentu tidak mudah sehingga lahirnya Cloud Estimation Index.

CEI memiliki luaran yang dinamakan dengan DE (Deployment Effort). DE adalah usaha yang dibutuhkan oleh perusahaan. Semakin besar nilainya semakin besar usaha dan resikonya. DE memiliki setidaknya tiga komponen yakni

  1. EPC (Effort of Package Construction). EPC adalah usaha yang dibutuhkan untuk membuat paket solusi agar kompatibel dengan cloud
  2. EDS (Effort of Deployment Step). EDS adalah usaha yang dibutuhkan untuk melakukan migrasi ke cloud. Seperti mengunggah, memasang perangkat, dan aktivitas yang lain terkait dengan usaha distribusi aplikasi. EDS terbagi menjadi dua komponen utama yakni
    1. NDS. Jumlah langkah yang dibutuhkan untuk melakukan deployment
    2. DSP. Kompleksitas langkah untuk paramater yang dibutuhkan untuk langkah khusus deployment.
  3. CC (Code Change & Configuration). Mengukur sebarapa banyak kode yang berubah diakibatkan oleh pemindahan ke Cloud.

Setiap komponen akan memiliki atribut yang diukur menggunakan teknik pembobotan. Pembobotan yang disusun akan mengikuti satuan berbasis user story point. User story point adalah pendekatan pengukuran berbasis Agile yang terdapat di ruang lingkup penelitian rekayasa perangkat lunak. Untuk memudahkannya pengguna bisa menggunakan solusi berbasis Excel dalam menghitung solusi ini. CMEI saat ini sudah mendukung proses migrasi ke berbagai penyedia Cloud yakni Microsoft Azure, Amazon AWS, dan Google Cloud App.

Editor

Ridi Ferdiana

Peneliti

Redy Bintara

Tahun

2020

Tautan Publikasi

On review

Survei dan Dasbor, Tak Terpisahkan!

Articles Wednesday, 27 May 2020

Era Survei Online Masa Depan!

Kita sudah terbiasa mengisi survei bukan? Mulai dari survei untuk umpan balik aplikasi, survei penelitian, hingga survei alumni. Salah satu pendekatan yang umum dalam pembuatan survei adalah dengan menggunakan perangkat lunak penyusun survei seperti Microsoft Forms, Google forms, Survey Monkey, hingga Web anketa. Proses penyusunan kalimat survei, logika survei, hingga tabulasi survei dapat dilakukan dengan sistem tersebut.

Namun demikian survei yang ada saat ini belum menjawab hal yang terpenting dari survei itu sendiri! Yakni memutuskan berdasarkan data. Percaya atau tidak survei disusun agar penyusunnya dapat memutuskan berdasar pada hasil yang diperoleh. Data yang sudah terkumpul pada umumnya dibersihkan, disusun dalam bentuk grafis / dasbor, kemudian dari visualisasi tersebut diputuskanlah hal yang hendak diputuskan berdasar visualiasasi.

Survei dan Dasbor, Integrasi untuk Masa Depan

Pengembangan ini mengambil sebuah ide akan sangat baik jika survei dapat terintegrasi dengan dasbor. Survei yang terintegrasi dengan dasbor akan meningkatkan produktivitas dalam memutuskan hal secara lebih cepat. Solusi yang disebut integrated survey ini akan membantu pengguna agar lebih produktif.

Survei ini berbeda dengan Survei yang lain dikarenakan

  1. Menyusun survei secara instan dan dapat diakses baik dengan komputer atau smartphone
  2. Menghasilkan Excel yang kompatibel dengan sistem dashboard
  3. Memudahkan pembaruan data dashboard dengan dukungan integrasi cloud storage (OneDrive)

Skenario Nyata – Survei Alumni Berbasis OBE (Outcome Based Education)

Survei terintegrasi dapat digunakan diberbagai bidang termasuk di bidang pendidikan. Pada kasus ini survei akan dikembangkan oleh sistem terintegrasi lalu dasbor yang tampil kompatibel dengan Power BI. Adapun skenario kerja aplikasi ini adalah:

  1. Pengguna menyusun survei dengan sistem
  2. Pengguna membagikan survei kepada partisipan
  3. Sistem menghasilkan excel
  4. Sistem mengunggah excel di OneDrive
  5. Sistem membangkitkan dasbor berdasar template excel
  6. Setiap pembaruan data akan menghasilkan Excel yang terbarukan
  7. Dasbor akan diperbarui dan juga tampilan akan sesuai

Penulis

Ridi Ferdiana

Pengembang

Nadiva Ramadhani

Tahun

2019

1234

Recent Posts

  • Paper Publikasi Cloud Experience – Update Juli 2025
    August 4, 2025
  • Tips Menyusun Perumusan Masalah Yang Benar di Bidang Teknik
    January 27, 2025
  • Software Engineering Research Roadmap for 2025
    December 27, 2024
Universitas Gadjah Mada

CLOUD EXPERIENCE RESEARCH GROUP

Department of Electrical Engineering & Information Technology

Faculty of Engineering 

Universitas Gadjah Mada

 

Jl. Grafika No.2 Sinduadi, Mlati, Sleman

Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, Indonesia

+ 62 123 456 789

cloudex@yeah.com

Recent Posts

  • Paper Publikasi Cloud Experience – Update Juli 2025
  • Tips Menyusun Perumusan Masalah Yang Benar di Bidang Teknik
  • Software Engineering Research Roadmap for 2025
  • Deteksi Pornografi dengan Gelombang Otak

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY