Universitas Gadjah Mada Cloud Experience Research Group
Department of Electrical Engineering & Information Technology
Faculty of Engineering Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • 2020
  • June
Arsip 2020:

June

Dev story – Certificate Generator

Videos Monday, 29 June 2020

Pengelolaan Risiko Dengan Pendekatan Work Breakdown Structure

Articles Wednesday, 24 June 2020

Mengelola risiko baik dalam sebuah proyek, kegiatan operasional hingga perusahaan merupakan hal yang harus dilakukan untuk memastikan tujuan dari proyek, kegiatan operasional atau perusahaan tercapai sesuai dengan sasaran yang diharapkan. Merujuk kepada proses pengelolaan risiko menurut ISO 31000:2018, kegiatan penilaian risiko dimulai dari kegiatan identifikasi yang dilanjutkan dengan analisa dan evaluasi dari risiko tersebut. Ada banyak pendekatan yang dapat digunakan untuk melakukan kegiatan proses penilaian risiko, dimana dalam level yang lebih detail dalam sebuah proses atau project dapat menggunakan pendekatan work breakdown structure (WBS). Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran bagaimana WBS bisa digunakan untuk proses penilaian risiko dalam sebuah proyek atau proses bisnis, sehingga membantu pengguna dokumen untuk mengelola risikonya. Dimana dalam dokumen ini akan mencoba memberikan gambaran dalam proses SDLC waterfall.

Penilaian Risiko dan ISO 31000:2018

Secara umum baik aktifitas, proses, project hingga sebuah organisasi dalam perjalannya akan selalu dihadapkan dengan deviasi dalam rangka mencapai sasaran atau tujuannya. Deviasi ini dapat dikaitkan dengan definisi risiko oleh ISO 31000:2018 (ISO, 2018) yaitu devuasi dari apa yang diharapkan, dimana bisa bersifat positif dan/atau negatif.

Banyak metode yang bisa dilakukan dalam rangka melakukan penilaian risiko ini, dimana merujuk kepada ISO 31000:2018 secara umum tahapan dalam penilaian risiko adalah sebagai berikut:

  1. Identifikasi risiko
  2. Analisa Risiko
  3. Evaluasi Risiko

Proses penilaian risiko sendiri sewajarnya dilakukan secar sistematis, kolaboratif, dan iterative dengan memanfaatkan pengetahuan dan pemahaman para pemangku/pelaksanan kepentingan. Dalam pelaksanaanya proses penilaian risko harus menggunakan informasi terbaik yang tersedia yang dilengkapi dengan hasil pengamatan perkembangannya sesuai dengan kebutuhan.

Identifikasi Risiko

Identifikasi risiko dilakukan dalam rangka mencari dan menggali potensi informasi kejadian-kejadian atau kegiatan yang dapat menyebabkan deviasi dalam pencapaian tujuan atau sasaran. Kegiatan ini dilakukan untuk membuat daftar potensi risiko yang mempengaruhi pencapain tujuan atau sasaran dari aktifitas, proses, proyek ataupun organisasi. Penggunaan metode yang sesuai dapat membantu pelaksanaan proses ini menghasilkan informasi yang lebih akurat.

Analisa Risiko

Analisis risiko merupakan proses sistematis yang bersifat kuantitatif, untuk menentikan peluang dan potensi dampak dari sebuah risiko apabila terjadi. Tujuan dari kegiatan ini adalah menghasilkan informasi terkait karakteristik dari risiko itu sendiri yang dibentuk dari pendekatan peluang dan dampak. Lebih jauh dalam kegiatan Analisa risiko ini akan membutuhkan data dan informasi historis untuk membentuk Analisa kuantitatif yang dibutuhkan agar menjadi lebih akurat.

Evaluasi Risiko

Evaluasi risiko adalah tahap terakhir dari proses penilaian risiko ini, dimana dalam proses evaluasi risiko ini ditujukan untuk membandingkan hasil dari proses Analisa risiko untuk menentukan prioritas alokasi sumber daya dalam rangka proses kontrol dan mitigasi yang akan dilakukan. Secara umum hal yang dilakukan adalah menyusun prioritas besaran risiko- (contoh: nilai risiko tertinggi mendapat prioritas tertinggi, menentukan mana area paling Utama apabila ada nilai risiko yang sama, judgement dan kesepakatan Bersama dari pemangku kepentingan apabil ada nilai risiko yang sama untuk diutamakan).

WBS-Work Breakdown Structure

Didalam PMBOK Edisi-6 (PMI, 2017), WBS merupakan hirarki dari lingkup proyek yang harus diperhatikan oleh anggota tim proyek untuk mencapai tujuan proyek dan mencapai persyaratan hasil akhir (deliverable). Level terkecil dari sebuah WBS disebut dengan paket pekerjaan. Sebuah paket pekerjaan dapat digunakan pada sebuah kelompok kegiatan dimana pekerjaan dijadwalkan, diestimasi, dimonitoring dan dikontrol.

Tujuan dari WBS

Menurut PMBOK edisi ke-6 (PMI, 2017), WBS bisa menjadi dasar dalam membuat :

  1. Jadwal pekerjaan,
  2. Menghitung estimasi biaya,
  3. menentukan sumber daya yang dibutuhkan,
  4. memperhitungkan potensi risiko pekerjaan,
  5. dan dapat digunakan kegiatan pemantauan dan pengendalian.

Menurut jurnal Lei SU (SU, 2012) WBS memiliki 4 tujan Utama yaitu:

  1. Sebagai alat perencanan dan disain yang dapat dideskripsikan sebagai urutan keterkaitan dari setiap proses atau aktifitas secara berurutan
  2. Sebagai penedekatan untuk melakukan desain terstruktur yang dapat menggambarkan hubungan dari setiap project unit secara jelas
  3. Sebagai alat perencanaan yang dapat menggambarkan secara berurutan hingga selesainya proyek dengan petunjuk lebih detail bagi setiap unit untuk menyelesaikan proyek
  4. Sebagai alat pelaporan, dimana dengan WBS dapat digunakan untuk menghasilkan laporan status sebuah proyek, termasuk untuk mengawasi kinerja, beban kerja, tanggung jawab hingga proses komunikasi.

Merujuk pada hal diatas maka WBS juga dapat digunakan untuk membantu proses penilaian risiko.

Tahapan Dari Pembuatan WBS

Lebih lanjut menurut Jurnal Lei SU (SU, 2012), secara ringkas tahapannya adalah sebagai berikut:

  1. Menentukan kegiatan Utama dari proyek, yang di jabarkan lebih lanjut menjadi sub proses/ kegiatan
  2. Identifkasi biaya, anggaran dan sumber daya yang dibutuhkan
  3. Jenis kegiatan/aktifitas yang bisa dilakukan
  4. Kegiatan pengawasan yang diperlukan

Contoh: Penilaian Risiko Menggunakan WBS dalam Waterfall SDLC

The Waterfall model (Bassil, 2012)
Contoh aplikasi WBS dalam SDLC Waterfall

 

 

 

 

 

 

Contoh gambar disesuaikan merujuk kepada journal (Sérgio Sequeira, 2015)  diatas apabila dikaitkan dengan proses penilaian risiko maka tabelnya dapat dikembangkan sebagai berikut:

No

Proses Sub Proses Sub Kegiatan Target Risk Event Analisa Risiko Mitigasi
Probaility Impact Severity
1 Analisa 1.1.Infrastruktur xxxx xxxx xxx        
xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
1.2. Proses Bisnis xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
1.3 Kebutuhan Spesifikasi Software xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
2 Desain 2.1. Gambar Disain xxxx xxxx xxx        
xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
2.2. Modeling Disain xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
2.3. Modeling Proses Bisnis xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
3 Implementasi 3.1 Set Up Software xxxx xxxx xxx        
xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
3.2 Perumusan Manual xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
4 Testing 4.1 Testing Infrastruktur xxxx xxxx xxx        
xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
4.2 Testing Software xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
5 Maintenance 5.1 Training xxxx xxxx xxx        
xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
5.2 Metode Maintenance xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        
5.3 Jadwal Maintenance xxxx xxxx xxx        
xxxx xxxx xxx        

Keterangan:

  1. Proses adalah proses Utama dalam SDLC (waterfall), apabila project atau aktifitas bukan SDLC (waterfall) maka dapat diganti sesuai dengan proses besar project tersebut
  2. Sub Proses adalah sub proses dari proses Utama yang merupakan aktifitas lebih detail untuk menjalankan proses Utama
  3. Target adalah target dari setiap sub proses yang di selaraskan dengan target Utama dari proses Utama
  4. Risk event adalah potensi risiko yang menyebabkan terdeviasinya pencapaian target
  5. Probability adalah Analisa Kualitatif angka (1-5) yang merujuk kepada peluang terjadinya Risiko tersebut
  6. Impact adalah Analisa kualitatif angka (1-5) yang merujuk kepada nilai dampak apabila risiko tersebut terjadi
  7. Severity adalah nilai kualitatif angka (5-25) yang merujuk dari hasil perkalian probability dan impact
  8. Mitigasi adalah hal yang akan dilakukan oleh pemangku kepentingan untuk memitigasi hal tersebut

Dalam menggunakan table diatas sebaiknya merujuk kepada urutan proses atau kegiatan yang memang akan dilakukan. Dan sebagai rujukan tambahan untuk evaluasi risiko maka bisa juga menggunakan table sebagai berikut :

Penetapan ukuran dan parameter dari table akan merujuk kepada preferensi dari pemangku kepentingan. Dari informasi diatas, penggunaan WBS juga kedepannya dapat dikembangkan untuk mengidentifikasi secara detail PIC dan waktu penyelesaian dari sebuah aktifitas dalam sebuah proyek atau kegiatan dalam sebuah organisasi. Kedalaman dalam mengidenfikasi potensi risiko sangat bergantung kepada pengalaman dari pelaksana proyek atau aktifitas tersebut.

Kesimpulan

Penggunaan WBS dalam pelaksanaan penilaian Risiko hanya merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk membantu pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan untuk mengalokasikan sumber daya yang dibutuhkan dalam rangka memitigasi potensi risiko yang ada agar tujuan dan sasaran dari aktifitas/proyek/organisasi tercapai.

Kemampuan mengidentifikasi dan pengetahuan dari pemilik proses akan sangat menentukan kedalaman dari Analisa yang dilakukan.

Tulisan ini dapat dikembangkan lebih jauh untuk proses-proses lainnya seperti identifikasi biaya, sumber daya hingga proses monitoring dan perbaikan dari sebuah proyek atau aktifitas atau proses bisnis.

Referensi

Bassil, Youssef (2012),  A Simulation Model for the Waterfall Software Development Life Cycle

International Journal of Engineering & Technology (iJET), ISSN: 2049-3444, Vol. 2, No. 5, 2012 http://iet-journals.org/archive/2012/may_vol_2_no_5/255895133318216.pdf

Sequeira, Sérgio (2015)  Simple Method Proposal for Cost Estimation from Work Breakdown Structure, Procedia Computer Science 64 ( 2015 ) 537 – 544 https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877050915026940/pdf?md5=a7c93ac8df72f78653da925166cc0c69&pid=1-s2.0-S1877050915026940-main.pdf&_valck=1

SU, Lei (2012), WBS-based Risk Identification for the Whole Process of Real Estate Project and Countermeasures, National Conference on Information Technology and Computer Science (CITCS 2012) https://download.atlantis-press.com/article/2965.pdf

Project Management Institute (2017), A guide to the project management body of knowledge (PMBOK guide)

Profil Penulis

 

Lucky Hatreztyo SE, MBA, CRA ; berkerja di PT Jalin Pembayaran Nusantara sebagai Head of fraud and risk management dan disela kesibukannya sebagai Adjunct lecturer di Swiss german university. Beliau memiliki pengalaman 10 tahun di bidang Strategi dan Manajemen Resiko Perusahaan. Beliau mengikuti komunitas sebagai Anggota ERM BUMN dan Kepala Bidang Ekonomi Permunas (Persatuan Pengusaha Muda Muslim Nasional)

Demo Insurance Tracking Program

Videos Monday, 22 June 2020

Percepatan Inklusi Keuangan Melalui Demokratisasi Teknologi

Articles Wednesday, 17 June 2020

Abstrak

Layanan keuangan dari perbankan menjadi salah satu elemen penting dalam siklus perekonomian. Misalnya bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), kredit usaha rakyat dapat menjadi salah satu kanal permodalan, baik untuk memulai atau mengakselerasi bisnisnya. Sayangnya, jumlah masyarakat unbanked (tidak tersentuh layanan bank) masih sangat tinggi di Indonesia. Sebagai langkah represif, inklusi keuangan digalakkan oleh berbagai pihak – kini yang paling kentara dilakukan teknologi finansial (finansial technology; fintech). Didukung teknologi seperti komputasi awan, kecerdasan buatan, pembelajaran mesin, dan analisis data; kegiatan inklusi keuangan menjadi lebih efisien. Institusi keuangan non-perbankan dapat turut andil dengan tetap meminimalisir berbagai risiko yang mungkin terjadi. Dalam tulisan ini, diulas mengenai demokratisasi teknologi untuk membantu inklusi keuangan – baik yang sudah diaplikasikan maupun yang berpotensi untuk digunakan di kemudian hari.

Isi Artikel

“Indonesia akan menjadi negara maju dan diperhitungkan dunia.”

Ungkapan (atau keyakinan) tersebut dewasa ini menjadi diskursus dalam berbagai diskusi publik oleh berbagai kalangan – pemerintah, akademisi, pelaku bisnis, hingga investor. Penelitian bahkan memproyeksikan, pada tahun 2030 mendatang peningkatan ekonomi Indonesia akan menempati peringkat ke-7 secara global [1]. Bukan tanpa alasan, banyak indikator yang mulai memperlihatkan bahwa bangsa ini tengah on-track ke arah sana. Salah satunya pemberdayaan yang dilakukan secara kontinyu, menyokong bisnis dari skala usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Pemberdayaan tersebut memang layak diprioritaskan, per tahun 2018, data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat ada sekitar 64 juta UMKM yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Mereka berhasil menyerap 116,9 juta tenaga kerja, atau setara 97% dari seluruh serapan tenaga kerja nasional [2].

Namun untuk mencapai cita-cita tersebut, secara praktik, ada beberapa isu yang menjadi permasalahan umum. Salah satu yang paling signifikan mengenai akses ke layanan finansial. Menurut laporan [3], ada 51% penduduk Indonesia yang masuk ke golongan unbanked; 26% underbanked; dan hanya 23% banked. Terminologi unbanked merujuk pada golongan masyarakat yang sama sekali tidak tersentuh layanan finansial dan perbankan – termasuk sekadar memiliki akun bank. Sementara underbanked adalah mereka yang tidak terlayani maksimal oleh perbankan, contoh paling riil ketika seorang nasabah tidak pernah disetujui pengajuan pinjaman atau kartu kreditnya. Berkorelasi langsung dengan laju pertumbuhan UMKM, pasalnya tidak sedikit pelakunya datang dari kalangan tersebut.

Pada sebuah sistem ekonomi, peran layanan krusial menjadi sangat penting, terlebih untuk perputaran arus kas bisnis. Sebagai contoh, pebisnis memerlukan akses perkreditan untuk mendapatkan modal memulai atau mengakselerasi bisnis. Pebisnis juga perlu akses ke transaksi kilat saat berhubungan dengan pelanggan atau pemasok bahan – terlebih di era e-commerce seperti saat ini. Kadang pebisnis juga perlu asuransi untuk melindungi berbagai aset yang dimiliki. Selain akses, rendahnya literasi digital menjadikan persentase unbanked tersebut sangat tinggi.

Teknologi finansial memberikan solusi

Teknologi finansial atau financial technology (fintech) merupakan terobosan layanan keuangan melalui ranah digital. Pada umumnya memungkinkan pengguna untuk mendaftar dan mengakses sebuah produk finansial melalui situs web atau aplikasi ponsel pintar. Variannya bermacam-macam, mulai dari platform dompet digital (e-money), pinjaman masyarakat (peer-to-peer lending), hingga asuransi digital (insurtech) [4]. Satu hal yang membedakannya dengan layanan finansial yang ada sebelumnya, platform-platform tersebut cenderung dapat diakses dengan prosedur dan persyaratan yang relatif mudah – diimbangi dengan kapabilitas layanan yang terbatas karena tidak wajib dikelola oleh lembaga perbankan; misalnya untuk layanan dompet digital batas nilai yang boleh disimpan adalah Rp10.000.000,- [5]. Terlebih sebagian besar layanan tersebut dihadirkan oleh perusahaan rintisan.

Kemudahan dalam proses pengembangan teknologi menjadikan jumlah pemainnya tumbuh secara signifikan sejak mulai booming sekitar tahun 2015; dan tidak sedikit yang menjadikan pertumbuhan UMKM sebagai pangsa pasar [6]. Salah satu vertikal yang tumbuh subur adalah peer-to-peer lending, memungkinkan kalangan personal atau institusi non-bank memberikan pinjaman (sebagian besar) kepada UMKM untuk modal usaha. Hingga 31 April 2020 terdapat 161 pemain yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. Meninjau dari sudut pemain industri, mereka memanfaatkan betul produk-produk dan kapabilitas teknologi terkini, misalnya komputasi awan (cloud computing), untuk mengembangkan produk digital secara cepat, hingga menjadikan mereka fokus pada nilai proposisi bisnis.

Kepala Perizinan dan Pengawasan Fintech Direktorat Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non Bank OJK Alvin Taulu mengatakan [7], selain berperan menyediakan infrastruktur, layanan komputasi awan diharapkan mampu membawa sektor fintech naik kelas. Misalnya untuk memungkinkan para pemain hadirkan fitur e-signature hingga electronic know your customer (e-KYC) secara efisien. Dan arah pengembangan platform yang ada saat ini memang ke sana – semua mengupayakan automasi untuk mempercepat proses. Automasi diartikan bahwa beberapa pemrosesan dilakukan secara otomatis oleh komputer, melibatkan sistem komputasi cerdas.

Peningkatan teknologi tingkat lanjut

Fintech di Indonesia bis dikatakan masih dalam tahap awal, sehingga banyak langkah preventif yang coba dikonsolidasikan para pemangku industri. Misalnya yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) dengan meluncurkan pusat data bersama [8]. Tujuannya untuk membantu setiap pemain fintech terdaftar di OJK melakukan cross-check calon nasabah untuk menghindari risiko gagal bayar. Setiap pemain diwajibkan berpartisipasi aktif memperbarui data.

Teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence), pembelajaran mesin (machine learning), dan analisis data (data analytics) juga menjadi salah satu fokus investasi yang kini terus dieksplorasi manfaatnya oleh masing-masing pemain. Misalnya untuk menghadirkan penilaian kredit (credit scoring) yang efisien. Teknologi tersebut dapat membantu perusahaan menganalisis risiko kredit berdasarkan data-data yang dikumpulkan seperti yang bersumber dari aplikasi – menganalisis perangkat, akun media sosial, transaksi belanja di e-commerce dan lain-lain. Sedikit lebih maju ketimbang bank yang harus menyertakan data-data secara manual, misalnya melalui dokumen bukti penghasilan, pajak, hingga kepemilikan aset.

Inklusi keuangan yang lebih cepat

Kecerdasan buatan dapat mengerjakan analisis kelayakan dalam hitungan menit, sementara perbankan harus melakukannya secara manual melalui petugas analis, membutuhkan waktu berhari-hari hanya untuk tujuan yang sama, seperti memberikan kredit. Bahkan penerapan teknologi analisis data memungkinkan UMKM mendapatkan rekomendasi besaran pinjaman yang diajukan menimbang pada kebutuhan dan kemampuan pengembalian. Peran teknologi dalam mendemokratisasi sektor keuangan sudah mulai sampai ke tahap sana. Adanya fintech memberikan solusi, orang tidak lagi harus memiliki akun bank untuk dapat bertransaksi di e-commerce, berkirim uang secara daring, atau sekadar menampung hasil bisnis.

n pinjaman yang diajukan menimbang pada kebutuhan dan kemampuan pengembalian. Peran teknologi dalam mendemokratisasi sektor keuangan sudah mulai sampai ke tahap sana. Adanya fintech memberikan solusi, orang tidak lagi harus memiliki akun bank untuk dapat bertransaksi di e-commerce, berkirim uang secara daring, atau sekadar menampung hasil bisnis.

 

Referensi

[1] R. Oberman, R. Dobbs, A. Budiman, F. Thompson dan M. Rossé, “The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential,” McKinsey Global Institute, New York, 2012.
[2] Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, “Laman Resmi Depkop,” [Online]. Available: http://www.depkop.go.id/data-umkm. [Diakses 22 May 2020].
[3] Bain & Company, Google, Temasek, “The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services,” Bain & Company, Inc., Singapore, 2019.
[4] DailySocial, “Fintech Report 2019: Moving Towards a New Era in Indonesia’s Financial Industry,” DailySocial, Jakarta, 2020.
[5] Bank Indonesia, “Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik,” [Online]. Available: https://www.bi.go.id/id/peraturan/sistem-pembayaran/Pages/PBI-200618.aspx. [Diakses 22 May 2020].
[6] M. Rosavina, R. A. Rahadi, M. L. Kitri dan S. Nuraeni, “P2P lending adoption by SMEs in Indonesia,” Qualitative Research in Financial Markets , vol. II, no. 11, pp. 260-279, 2019.
[7] T. Bosnia, “OJK: Cloud Computing Bisa Efisiensikan Fintech dan Pengawasan,” CNBC Indonesia, [Online]. Available: https://www.cnbcindonesia.com/tech/20180516121346-37-15151/ojk-cloud-computing-bisa-efisiensikan-fintech-dan-pengawasan. [Diakses 22 May 2020].
[8] F. Sari, “Kurangi risiko fraud, AFPI luncurkan fintech data center,” Kontan, [Online]. Available: https://keuangan.kontan.co.id/news/kurangi-risiko-fraud-afpi-luncurkan-fintech-data-center. [Diakses 22 May 2020].

Profil Penulis

Randi Eka Yonida; sehari-hari beraktivitas sebagai Managing Editor & Researcher untuk media pemberitaan teknologi dan bisnis DailySocial.id; turut membersama beberapa usaha rintisan di bidang pemberdayaan UMKM, internet of things, dan pertanian untuk bertumbuh.

Rekayasa Balik Arsitektur Informasi

Articles Wednesday, 17 June 2020

Pentingnya Arsitektur Informasi

Pada dunia aplikasi web dan sistem informasi memiliki tatanan alur informasi yang selayaknya dipahami oleh masyarakat. Aplikasi web dan sistem informasi yang memiliki arsitektur informasi yang tepat akan memudahkan pengguna unruk melakukan navigasi, mencari informasi, dan memanfaatkan fitur aplikasi web yang dikembangkan. Sayangnya tidak semua web yang ada saat ini memenuhi kaidah arsitektur informasi yang benar. Arsitektur informasi yang tidak benar berakibat pada:

  1. banyak pengunjung yang bingung mencari informasi yang dibutuhkan
  2. Pengunjung mengalami overload informasi
  3. Navigasi yang sulit dipahami oleh manusia dan mesin pencari.

Bagi aplikasi web yang sudah terlanjur memiliki web operasional namun belum menerapkan konsep arsitektur informasi maka rekayasa balik arsitektur informasi solusinya. Rekayasa balik (Reverse Engineering) menjadi upaya untuk memahami kondisi existing dan kemudian melanjutkan untuk melakukan perbaikan dan pengembangan lebih lanjut dari arsitektur informasi yang sudah didapat.

Proses rekayasa balik Arsitektur Informasi

Proses rekayasa balik dilakukan secara otomatis dengan melakukan parsing konteks dengan melakukan analisis pembacaan arsitektur informasi dan juga kode sumber. Parsing konteks akan menghasilkan sekumpulan komponen yang kemudian dilakukan spesifikasi komponen dan hubungan timbal balik komponen. Secara sederhana yang dilakukan adalah melakukan memahami komponen dan kaitannya antar satu komponen sehingga menghasilkan sebuah pohon arsitektur informasi. Setelah melakukan analisis komponen maka yang dilakukan adalah pemulihan desain. Pemulihan desain adalah membangkitkan kembali arsitektur informasi dan kebutuhan sistem. Kemudian membandingkan apakah hasil luaran sudah sesuai dengan kebutuhan awal. Langkah terakhir adalah melakukan rekonstruksi desain dengan model perancangan.

Untuk lebih memahami mari kita melihat kasus sebuah aplikasi web XYZ. Langkah rekayasa balik yang dilakukan adalah sebagai berikut:

  1. Web XYZ diambil dalam bentuk aplikasi web dan kode sumber
  2. Kode sumber dan aplikasi web diparsing untuk membaca struktur menu dan konten
  3. Struktur menu dan konten kemudian direlasikan antara satu dengan yang lain.
  4. Kemudian hasil relasi disandingkan dengan spesifikasi awal aplikasi web untuk kemudian disusun arsitektur informasinya
  5. Arsitektur informasi dapat diarahkan ke rekonstruksi design seperti use case, activity diagram, dan yang lain.

Dengan pendekatan ini dimungkinkan perbaikan berdasar aplikasi web yang sudah ada .

Editor

Ridi Ferdiana

Peneliti

Muhammad Fikri

Tahun

2020

Tautan Publikasi

On review

Dev Story – Insurance Tracking Program

Videos Monday, 15 June 2020

12

Recent Posts

  • Paper Publikasi Cloud Experience – Update Juli 2025
    August 4, 2025
  • Tips Menyusun Perumusan Masalah Yang Benar di Bidang Teknik
    January 27, 2025
  • Software Engineering Research Roadmap for 2025
    December 27, 2024
Universitas Gadjah Mada

CLOUD EXPERIENCE RESEARCH GROUP

Department of Electrical Engineering & Information Technology

Faculty of Engineering 

Universitas Gadjah Mada

 

Jl. Grafika No.2 Sinduadi, Mlati, Sleman

Daerah Istimewa Yogyakarta 55281, Indonesia

+ 62 123 456 789

cloudex@yeah.com

Recent Posts

  • Paper Publikasi Cloud Experience – Update Juli 2025
  • Tips Menyusun Perumusan Masalah Yang Benar di Bidang Teknik
  • Software Engineering Research Roadmap for 2025
  • Deteksi Pornografi dengan Gelombang Otak

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY